Indonesian Dream
Sabtu, 2008 Oktober 11
Perdagangan Bebas dan Nasionalisme
Sunday, 05 October 2008 Banyak negara yang akhirnya mengoreksi kebijakan dengan menyetujui perdagangan bebas. Sebab,dampak negatif globalisasi mulai terasa.Isu nasionalisme pun kembali dianut. Perdagangan bebas merupakan sebuah keniscayaan. Bagi negara yang sudah siap menghadapinya, perdagangan bebas bisa menjadi sebuah keuntungan karena produknya bisa mendapatkan pasar baru tanpa sekat batas negara. Namun, bagi yang belum siap, ini bisa menjadi mimpi buruk. Sebab, produk lokal di negara tersebut harus menghadapi serbuan produk negara lain yang mungkin lebih berkualitas. Ketika produk lokal satu negara tidak bernilai tambah, konsekuensinya akan tergilas produk asing tersebut. Kondisi semacam inilah yang dicemaskan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Itu sebabnya, pada pertengahan September lalu, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kadin Indonesia Bidang Perdagangan dan Distribusi 2008, lembaga ini mencoba mengusung kembali isu nasionalisme yang dikaitkan dalam era perdagangan bebas.Bagi Kadin, hal itu sangat penting agar Indonesia bisa menghadapi tantangan aktual yang ada saat ini,termasuk di masa depan. Sejatinya,slogan ”cinta produk dalam negeri” sudah sejak lama dikampanyekan. Namun, slogan itu hingga kini masih sebatas ”kata manis di bibir” saja.Isu ini pun dianggap penting karena untuk wilayah ASEAN saja, produk Indonesia dianggap belum mampu bersaing.Apalagi, Indonesia juga akan memasuki era perdagangan bebas wilayah ASEAN (AFTA) pada 2015. Jadi, isu nasionalisme dalam konteks perdagangan pun semakin penting.Tujuannya,agar produk Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Memang kesepakatan Indonesia dalam perjanjian organisasi perdagangan bebas (WTO) masih menuai kontroversi.Sebagian kalangan menilai Indonesia belum layak turut serta. Sementara di pihak lain, Indonesia dianggap sudah semestinya ”berperan” dalam perdagangan bebas karena produknya dinilai mampu bersaing. Namun faktanya, produk asinglah yang justru banyak beredar di Tanah Air. Karena kadung menyetujui perjanjian WTO, mau tidak mau Indonesia harus menyiapkan diri menyongsong perdagangan bebas. Ya, sebuah harga yang harus dibayar akibat menganut sistem ekonomi terbuka. Untuk itu,menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan dan Distribusi Ketut Suardhana Linggih, penggunaan produk nasional sudah semestinya menjadi perhatian semua pihak. ”Kita tidak perlu menjadi warga negara Indonesia yang anti asing.Namun, kita juga perlu lebih memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri,”katanya. Menurut dia, nasionalisme dalam perdagangan tidak melanggar kesepakatan dengan WTO,AFTA,ataupun Indonesia—Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA).Sebab,kunci keberhasilan dalam perdagangan bebas adalah Indonesia harus mempertimbangkan kondisi akses pasar, dukungan perusahaan domestik, serta dukungan kegiatan ekspor dari pemerintah. Artinya, pemerintah harus bisa memproteksi kepentingan produk dalam negeri. Sebab,bagi negara yang sudah siap pun, kebijakan tersebut merupakan prasyarat utama keberhasilan mereka dalam perdagangan bebas.Mereka terlebih dahulu memproteksi produk dalam negeri, baru kemudian bermain di pasar dunia. Lalu,banyaknya hambatan dan beban dalam aliran barang dan jasa dalam negeri menuntut dilakukannya reformasi birokrasi dan penyediaan infrastruktur pelabuhan, jalan tol, guna memperlancar arus barang. ”Semua pihak terkait, seperti DPR,pemerintah,dan pengusaha harus menciptakan sistem yang mempermudah terjadinya transaksi perdagangan di Indonesia,”paparnya. Selain harus mendukung percepatan penerapan teknologi informasi pada semua kalangan industri di dalam negeri, semua pihak juga harus mendorong penggunaan produksi barang dan jasa dalam negeri.Menurut Ketut, nasionalisme semacam ini sudah sangat biasa dilakukan di negaranegara maju.Hal ini pula yang dilakukan Amerika Serikat (AS), yang sering dijadikan acuan pelaku perdagangan bebas. Ketua Program Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia (KWA-UI) Roni M Bishry menjelaskan, AS hingga kini masih memberlakukan nasionalisme dalam perdagangannya dengan pendekatan National Economic Interest. Di antaranya, bagaimana Negara Paman Sam itu membuat barang dalam negerinya kompetitif terhadap barang luar negeri. Kemudian,bagaimana memperbaiki rantai distribusi, infrastruktur, serta kinerja institusi pemerintah. Syahdan, dibuat strategi ekspor atas komoditas tertentu dan ditentukan juga negara tujuan ekspornya. ”Nasionalisme dalam konteks perdagangan adalah berpihak pada kepentingan nasional, mendukung dunia usaha supaya ekspor naik,komponen impor (import content) menurun, promosi produk domestik di luar negeri, dukungan finansial, dukungan teknologi,dan lainnya,”paparnya. Itu sebabnya, nasionalisme saat ini kembali dianggap penting sebagai instrumen yang bisa memproteksi produk- produk dalam negeri.Sebab, kini semakin banyak fakta yang mencuat bahwa globalisasi sebagai ”kendaraan” perdagangan bebas tidak selamanya memberi manfaat positif bagi masyarakat dunia. Runtuhnya pasar finansial AS yang berdampak pada pasar finansial global adalah salah satu bukti nyata ”kegagalan”globalisasi. Karena itu, dalam setahun terakhir, banyak negara di dunia yang akhirnya mengoreksi terhadap perjanjian pasar bebas yang disepakati. Tujuannya, guna menemukan formulasi yang tepat dalam menghadapi perdagangan bebas itu sendiri. Bagi Indonesia, awalnya perdagangan bebas dianggap bermanfaat untuk menumbuhkan industrialisasi dan meningkatkan ekspor. Hal ini kemudian dibuktikan dengan predikat Macan Asia Baru (the New Asian Tiger) yang disandang Indonesia pada era 1990-an.Bahkan,sejak 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka signifikan. Namun, ketika krisis menerpa pada 1997, fondasi ekonomi Indonesia rapuh.Ternyata kemampuan ekonomi Indonesia sebelum krisis bersifat semu. Sebagai negara yang menyetujui perdagangan bebas,Indonesia justru terperangkap utang luar negeri yang semakin membengkak.Globalisasi ternyata membuat Indonesia bergantung pada lembaga keuangan dunia seperti IMF dan Bank Dunia.Kemandirian Indonesia sebagai sebuah negara pun lindap. Meski begitu, menurut Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat, perdagangan bebas tidak serta-merta harus dilihat sebagai ”hantu” yang menakutkan. Sebaliknya, harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan nasional.Artinya, proteksi terhadap produk dalam negeri harus diutamakan. Sebab, umumnya pemerintah negara-negara maju yang menguasai pasar dunia terlebih dahulu memproteksi produk dalam negerinya sebelum bertarung di pasar global. (abdul malik/islahuddin/ faizin aslam) http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/perdagangan-bebas-dan-nasionalisme-2.html
Kamis, 27 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar