Essay - Agus Condro, Yoedha dan Perjuangan Dari Dalam Partai
Senin, 25-08-2008 13:24:43 oleh: Satrio Arismunandar Kanal: Opini
Kasus Agus Condro Prayitno, anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan, yang mengaku menerima uang suap Rp 500 juta, masih bergulir lamban. Rp 500 juta itu diduga adalah uang suap, terkait dengan pemilihan Miranda S. Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Miranda sendiri sejauh ini tetap membantah keterlibatannya dengan kasus itu.
Pengungkapan Agus Condro yang blak-blakan ternyata tidak serta merta memicu reaksi tanggap, baik dari KPK, apalagi dari internal partai. Di dalam PDI-P sendiri, sudah ada yang jadi "korban" akibat kasus Agus Condro. Ajaibnya, yang jadi korban bukan nama-nama anggota PDI-P, yang oleh Agus Condro disebut telah ikut menerima uang. Tetapi, justru salah satu caleg PDI-P, Dhia Prekasha Yoedha, yang mengusulkan langkah pembenahan internal partai, dalam upaya merespon pengungkapan Agus Condro tersebut.Saya tahu hal ini, karena saya dan Yoedha adalah teman lama. Yoedha adalah mantan wartawan Harian Kompas, yang dulu bersama-sama aktif di AJI (Aliansi Jurnalis Independen), SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), dan Forum Wacana UI (Forum Mahasiswa Pasca Sarjana UI, yang di dalamnya juga bergabung M. Fadjroel Rachman, Effendi Gazali, Arief Mudatsir Mandan, Laode Ida, dan lain-lain). Sebagai teman, Yoedha belum lama ini curhat ke saya, tentang hal-hal yang menimpanya.Semuanya berawal, ketika Yoedha mengirim SMS ke beberapa rekan PDI-P, berbunyi: "Gerakkan segera demo ke Lenteng agung desak DPP bentuk Komite Disiplin periksa EmirMoeis. Max Moein. Daniel Budi Setiawan. Agus Condro Prayitno. Dudie Murod. dll dan kenakan sanksi PAW jika terbukti langgar Kode Etik Partai. ......dst."Gara-gara SMS itulah, posisi nomor urut Yoedha sebagai Caleg DPRD DKI Jakarta (dari Daerah Pemilihan Jakarta Timur) jadi melorot. Dari nomor urut 2, diturunkan ke 4, dan akhirnya dilempar ke nomor urut 8. Tak cukup dengan itu, Yoedha juga dimarahi habis oleh salah satu petinggi PDI-P.Saat saya menulis essay ini, saya kira Yoedha masih terus berjuang. Yakni, bagaimana mempertemukan idealisme, loyalitas, dan komitmennya pada ideologi partai, yang maunya lurus, dengan realita politik dan kekuasaan di internal partai, yang bisa jadi sangat bersifat pragmatis. Repotnya lagi, dalam "aura pragmatisme" semacam itu, Yoedha justru tidak punya cukup "sumberdaya sosial-ekonomi" untuk bermanuver di dalamnya. Meskipun cerdas dan kritis, Yoedha tak punya backing massa seperti kyai dengan pesantrennya. Juga, tak punya backing modal, seperti pengusaha besar atau konglomerat, yang dengan mudah bisa menggelontorkan milyaran rupiah buat partai.Menjadi caleg, bukan hal baru bagi Yoedha. Alumnus Jurusan Kriminologi FISIP UI dan mantan aktivis GMNI ini sudah tiga kali jadi caleg, namun tak pernah berhasil lolos jadi anggota DPR. Yaitu, tahun 1992, sebagai caleg DPR-RI dari wilayah Irian Jaya (sekarang Papua). Tahun 1999, sebagai caleg dari daerah Indragiri Hilir. Dan, tahun 2004, di DKI I, ia tersisih lagi. Ironinya, nomor urut Yoedha tergeser ke bawah oleh caleg lain, pindahan dari Golkar, yang menang dari segi "sumberdaya ekonomi."Padahal, bicara soal komitmen perjuangan, Yoedha termasuk yang berjuang melawan penindasan rezim Soeharto, sejak PDI Perjuangan belum berdiri, Megawati belum jadi ketua partai, dan Golkar saat itu masih menjadi tiang utama pendukung rezim Soeharto.Kisah yang dialami Yoedha ini mungkin bukan sesuatu yang baru, dan juga bukan khas PDI Perjuangan. Peristiwa semacam ini sangat mungkin juga terjadi di partai-partai lain, ketika idealisme seorang anggota, kader, atau caleg berbenturan dengan pragmatisme dan kepentingan segelintir elite partai.Namun, saya pikir, kisah ini cukup layak sebagai "sarana pengingat," bagi dua teman saya lainnya, yang saat ini juga terjun menjadi caleg dengan idealisme "melakukan perubahan dari dalam." Dua rekan saya itu adalah Indra J. Piliang, pengamat politik yang jadi caleg Partai Golkar, dan Hamid Basyaib, aktivis yang jadi caleg PDI Perjuangan. Semoga keberadaan mereka betul-betul bisa memberi warna, ke arah perubahan dan perbaikan, seperti yang dicita-citakan. Selamat berjuang, Bung!
Jakarta, 24 Agustus 2008
Kamis, 27 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar